BERLAYAR UNTUK BERLABUH

Layar sudah terkembang. Nahkoda mengambil posisi duduk dengan kaki kanan berada di atas kaki kiri. Para Anak Buah Kapal sudah siap dengan posisinya masing-masing. 

Lapisan-lapisan ombak mulai mereka terjang sedikit demi sedikit. Nakhoda mulai membentangkan peta dengan tangan bergetar, karena rasanya ia tidak sanggup meninggalkan pelabuhan kecil dengan berjuta kenangan itu.

“Ah, aku tak sanggup meninggalkan pelabuhan tadi, banyak sekali kenangan-kenangan yang kudapatkan disana dan kegembiraan yang tidak bisa diungkap. Seandainya umurku sudah tua, pasti saja aku akan menetap di pelabuhan itu dan merubah hidupku menjadi lebih baik, mungkin juga aku akan berkeluarga disana,” ungkap Nahkoda dengan nada lirih.

“Seharusnya kapten tak boleh berkata seperti itu kita hatus tetap berjalan menuju tujuan kita, sebab ini sudah menjadi tugas kita untuk menuju pelabuhan selanjutnya, Kapten,” jawab asisten kapten. 

Setelah sampai di tengah samudra biru, bunyi guntur tak terbendung lagi, hujan lebat datang menyertai suara guntur dan kilauan petir yang indah sekaligus menyeramkan, langit yang hampir tidak kelihatan indahnya itu menandakan bahwa badai ini sangat besar dan buas, lalu badai besar mengguncang kapal itu dan membuat kapal pontang panting diterjang nya bagaikan hanya sebuah bongkahan kayu yang berada diderasnya lautan. Tetapi sang Nahkoda yang sudah piawai menghadapi cuaca seperti in dengan ketenangan nya dia mengambil sikap lalu ia berteriak kepada Anak Buah Kapal dengan pengeras suara dan dengan lantangnya

“Para anak buahku, dimohon untuk memakai rompi pelampung yang berada di samping kapal karena keadaan sudah sangat buruk. Cepat-cepat!! badai kali ini sangat buruk.”

Anak Buah Kapal mendengar suara itu dengan berlarian dengan cepat mereka langsung menuruti perintah Kapten, lalu mereka langsung mengambil apa yang diperintahkan oleh Nahkoda tersebut dengan tergedsa gesanya. Banyak Anak Buah kapal yang panik karena baru pertama kali merasakan badai sebesar itu dan semenakjtkan itu, hampir seperti tidak ada jalan keluar yang bisa digapai oleh kapal itu, seakan memang semua yang kan dilakukan sepertinya akan sia sia. Ada yang sedang menggigit jari karena ketakutan dan penuh tekanan dalam dirinya, ada yang sedang sujud syukur karena ia pikir ajalnya sudah dekat dan berpasrah akan keadaan yang akan terjadi selanjutnya, ada yang bergembira dan berteriak, ada juga yang duduk terlengkup dengan sangat ketakutan sembari menekuk kedua kakinya yang tak henti henti bergetar karena melihat badai saat itu yang memang benar benar besar dan dahsyatnya.

“Akhirnya badai tiba, kita akan mati bersama, kita akan mati dengan ketenangan yang kita lewati selama ini, aku memaafkan kalian wahai teman temanku. Terima kasih, Tuhan,” ungkap ABK yang berada di depan kapal, dengan rasa bangga dan merasa terhormat bisa berada sampai detik terakhir dengan kawan seperjuangannya.

“Hey tolol, jaga ucapanmu itu, Kau mendoakan kita akan mati disini, aku tak ingin mati denganmu dan aku tak mau mati di tengah samudera ini yang penuh dengan ketakutan dan misteri,” ujar rozak kepala ABK yang sangat kesal dengar ucap anak buahnya. 

“Bodoh sekali kau mau mati di tengah laut ini, Lihat kesekelilingmu ini sangat mengerikan badai yang tidak wajar, mungkin jarang jarang badai seperti ini bisa sampai terjadi, dan sialnya kita yang merasakan semua ketakutan ini, lebih baik aku mati di tengah keluargaku. Sebab mereka lah yang membesarkanku, karena laut ini hanya penyambung kehidupanku dan keluargaku, tidak berarti apa apa untukku selain hanya untuk menyambung hidup.” teriak ABK yang bersujud syukur.

“Hahahaha aku ingin mati di sini, karena laut lah yang membuatku tetap hidup sampai sekarang dan memberikan banyak kesenangan kesenangan yang aku lewati selama ini bahkan masih banyak hal lagi yang sudah aku lewati dilaut, mungkin emmang sudah saatnya kita akan berakhir hahaha. Kematianku di tengah laut merupakan cara berterima kasih dan bersyukurku kepada laut dan semua isi isinya yang sudah membantu dan membuat banyak perubahan dalam hidupku yang membuatku seperti ini,” jawab ABK yang bergembira dan berteriak.

“Berterima kasih itu seharusnya kepada Tuhan karena sudah diberikan kemudah kemudahan selama ini dah diberkati dengan pengalaman pengalaman yang sangat membanggakan dalam hidupku harus bicara dengan kata apa lagi yang akan kuucapkan untuk semua yang sidah aku lewati ini, barusan aku bersujud kepada-Nya itu tanda rasa syukurku kepanya-Nya. Sebab, Dialah yang sudah menciptakan laut dan memberikan rizkinya itu Kepada kita sekarang ini,” jawab ABK yang bersujud.

“Tuhan itu tak perlu dibela, kita berterima kasih kepada laut merupakan suatu bentuk rasa berterima kasihku kepada penciptanya dan segala yang sudah diberikan selama ini dilautan beserta isi dan pengalaman yang tak terbayangkan. Tak usah kau mengguruiku, soal agama aku ini sudah berpengalaman dibanding kau yang anak baru kemarin sore,” jawab dengan nada sedikit tinggi. 

“Kau berdua tidak usah bertengkar, kita sedang mengalami badai yang sangat besar dan berbahaya. Tetap fokus terhadap keselamatan kalian masing-masing dan tetap waspada dengan apa yang kita hadapi sekarang,” ujar Rozak yang sedikit kesal dengan perdebatan mereka berdua yang tidak ada habisnya dari tadi.

Duarrr!! Duarrrr!! ombak terus menghantam kapal Dan tanpa henti semakin menjadi jadi, Nahkoda yang sudah piawai dalam situasi ini akhirnya segera mememberhentikan kapal. Nahkoda beranjak dari kursinya untuk naik ke atas dak kapal didampingi oleh assisten setianya. Kapal terombang ambing di tengah samudera itu seperti daun yang tercebur ke air tanpa arah dan bingung. Beberapa serpihan ombak masuk ke ruangan Nahkoda dan ikut menyapu beberapa barang yang ada didalamnya. Setelah Nahkoda masuk kembali keruangannya matanya tertuju pada sekeliling ruangan itu.

“Di mana petaku, di mana topi rajutku!!” Teriak Nahkoda kepada assisten.

“Aku tak melihat kapten, mungkin saja sudah hanyut oleh ombak besar tadi kapten,” jawab assisten.

“Bodoh! Bodoh sekali kau! Kenapa kau ikut meninggalkan ruangan ini? Kenapa tidak berjaga di dalam saja?” Dengan mata menatap tajam assisten.

“Maaf kapten aku terlalu panik jika ditinggal sendirian dalam ruangan ini, sebab cuaca di luar sana sangatlah mengerikan dan bahaya aku belum pernah mengalaminya yang seperti ini,” ujar assisten.

“Oke sekarang kau naik ke dak kapal dengan membawa teropongku lalu saat kita mulai berjalan lagi kau arahkan jalan kemana kita harus melaju.”

“Siap, Kapten.” Ujar assisten. 

Kapten mulai mengambil posisi duduk seperti sebelumnya dan assisten tadi tidak menemani sang kapten di dalam ruangan, melainkan assisten menjadi petunjuk arah kapal. Matahari mulai terbenam dan seraya menghilangkan kengerian ombak yang tadi dirasakan mereka bersama, para Anak Buah Kapal pun siap-siap membersihkan diri dan melakukan makan sore dengan pemandangan air yang disoroti oleh cahaya matahari cukup sedikit menenangkan para Anak Buah Kapal. Pukul 12 malam ia melanjutkan perjalanan, akan tetapi para Anak Buah Kapal masih tertidur pulas sedangkan assisten nakhoda dan nakhoda saja yang bangun dan tetap waspada

“Kapten, belok kanan, Kapten!” Teriak assisten.

“Di mana pelabuhan kita selanjutnya, Bung?” Jawab kapten.

“Sekitar 9 Km lagi, Kapten.” Jawab assisten

Matahari mulai menyoroti kapal itu, pertanda waktu sudah pagi. Para ABK sudah terbangun dan seisi kapal melakukan sarapan untuk melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan selanjutnya dan masih belum tau rintangan apa yang akan dihadapi didepan sana yang sidah menanti. Tak disangka sang assisten melihat baju loreng-loreng memegang senjata dan melihat kapal-kapal perang lainnya sudah berkumpul di tempat itu.

“Kapten, sebaiknya kita jangan berhenti di daerah ini, tempat ini sungguh berbahaya untuk dipakai istirahat.” Ungkap assisten sambil meneropong.

“Cepat, ambil kain putih di gudang, lalu kita kibarkan bendera putih ke arah mereka sebagai tanda yang akan kita gunakan. Kita kesini bukan untuk berperang!” Jawab kapten.

“Sebentar, Kapten, sepertinya yang ingin berperang itu Negara China dan Indonesia,” jawab assisten sambil mengamati bendara kedua kubu yang sudah terlihat dari teropong.

“Lalu siapa itu, Kapten, yang sedang berpidato di depan tentara Indonesia? Sepertinya ia mantan prajurit perang, kalo saya dengar dia berpidato bahwa negara China itu bersahabat dengan negara dia. Dan pencapaian paling atas ialah perdamaian. Dia berbicara seperti itu, Kapten.” Ujar assisten Kapten.” Ujar assisten

“Bohong sekali isi pidato itu, mungkin kalo negara dia berperang dengan negara lawan, dia tidak akan mendapatkan keuntungan dari negara lawan. Mungkin si mantan prajurit itu sudah kongkalikong dengan negara lawan, makannya dia tidak berani mengambil langkah perang dan memilih jalan seperti itu,” ujar kapten

Berjalan kembalilah kapal itu dengan tetap mengibarkan bendera putih sebagai tanda. Di sekeliling perjalanan, banyak pulau-pulau, nampaknya assisten salah menunjukan jalan sebab yang dilihatnya tak sesuai dengan peta mereka yang hilang.Setelah mereka melewati kepulauan aneh tersebut akhirnya mereka menemukan pulau yang sangat hening yang di tempati oleh manusia berpakaian serba hitam, membawa payung hitam dan membawa poster bergambar tokoh pulau itu. Sepertinya pulau itu cocok untuk mereka singgahi. Di pulau sana mereka ditawari arak, ditawari makan dan ditawari tempat tidur yang sangat nyaman. Akhirnya mereka bermalam di pulau tersebut, sampai seorang tokoh menghampiri para pelaut tadi.

“Kalian mau kemana, Bung?” tanya seorang tokoh.

“Kami mau berlabuh kepulau yang sangat damai, pulau yang tidak berpenghuni, kami ingin membuat kehidupan baru di pulau itu dengan keadilan yang sangat adil dan kedamaian yang sangat damai. Kenapa penghuni di sini berpakaian serba hitam?” tanya kapten.

“Sebab kita memakai pakaian ini untuk menunjukan kematian HAM di negeri ini yang sudah tidak jelas, di negeri ini sangat tidak adil, Bung. Soal kesejahteraan rakyat saja sama sekali tidak adil, apalagi soal HAM! 

“Oh, jadi pulau-pulau sebelumnya yang sekarang sedang mengalami kekacauan termasuk bagian dari Negara ini? Lalu poster itu siapa bung?” tanya kapten sambil menunjuk poster yang terpampang di depannya.

“Itu pahlawan kami yang telah mereka bunuh dan hancurkan tanpa kami tau kebenaran yang sebenarnya sampai sekarang pun kami belum bisa menuntut keadilan yang kami inginkan bersama, tapi setelah kami menuntut keadilan pada negeri ini tak direspon sama sekali tidak ada kejelasan dan kemakmuaran yang kami dapat, yang kami dapat hanya kata kata palsu dari mereka dan selalu ketidak jelasan yang dibicarakan seakan mereka semua menutup nutupi keadilan yang sebenar benarnya tentang kemana kah pahlawan kami mereka ambil, sampai sekarang pun kata kata pahlawan kami masih dibungkam kebenarannya oleh mereka, mungkin karena mereka takut akan kebenaran yang akan terbongkar dari bobroknya negri ini yang sudah sangat jelas terlihat, Bung. Dan para tokoh yang ikut andil dalam hal menuntut keadilan dan memperjuangkan keadilan keadilan juga ada yang sudah menjadi pejabat di dalam gedung kura-kura hijau itu dan menjadi bagian dari orang orang didalamnya, Bung.” 

Senja mulai datang, akhirnya para pelaut melanjutkan perjalanan ke pelabuhan yang ingin mereka tuju. Akan tetapi dalam perjalanan menuju pelabuhan tersebut banyak sekali sampah-sampah berserakan di laut ini dan sangat sangat jorok tidak terawat. Karena malam mulai tiba dan kurangnya pencahayaan kapal dia menabrak bongkahan rumah dengan keras dan mengakibatkan kapal itu pecah di bagian depan dengan lubang yang cukup besar menganga, lalu semua pelaut terjun kelaut  dengan berani tanpa menggunakan alat mengapung sama sekali ditubuhnya. Mereka  pun hanyut terbawa ombak dan salah satu Anak Buah Kapal terdampar di pulau yang di penuhi hewan-hewan buas yang belum pernah mereka lihat hewan hewan buas apa itu. Ya, Anak Buah Kapal yang terdampar itu merupakan Anak Buah Kapal yang mendambakan kematian di tengah badai besar. Tak lama dia terbangun seekor komodo mengampirinya dan menghabisi Anak Buah Kapal itu. Pada akhirnya mereka semua tidak ada yang selamat mereka terpencar pencar tanpa tau satu sama lain, dan impian mereka harus tenggelam bersama keindahan keindahan dan kengerian lautan, yang mereka alami selama berlayar bersama Kapten dan teman teman yang sekarang mereka telah menemui takdir mereka masing masing dan ketenangan yang sudah mereka dambakan sejak lama. Ternyata terdapat surat kabar di saku sang kapten bahwa sang kapten ingin memberi tahu kepada masyarakat bahwa pekerjaan itu tak semuanya ada di darat. Di laut pun sangat banyak pekerjaan yang menjanjikan dan menyenangkan dan menghasilkan karena laut akan memberikan hasil ketika kita menjaga dan merawatnya dengan tidak seenaknya merusak atau bahkan mengambil sesuatu tanpa menanam nya kembali dengan menjaga lautan ini agar tetap terjaga dan selalu memberikan kita kemudahan dalam mencari sebuah rizki yang akan kita dapatkan dengan cara menjaga dan merawatnya. Karena mungkin gambaran badai tadi adalah amukan dan kemurkaan samudera yang merasa sudah tidak dihargai lagi, dia mengamuk dengan dahsyanya sampai sampai tidak bisa aku menggambarkan nya, wahai orang orang lain yang akan meneruskan jejakku atau bahkan lebih baik, perbaikilah lautmu jaga dia seperti dia memberikan semua isi nya kepadamu tanpa kecuali, janganlah dirimu menghianatinya dengan ketidak adilan dan keserakahanmu.

Aku sudah selesai, tugasmu selanjutnya lah yang akan menentukan kemana kita akan pergi menuju suatu perubahan, jangan mati dan tidak tumbuh lagi, bermekaran lah wahai bunga bunga baru, percantiklah wajahku saat ini yang sudah tidak bisa lagi mengembannya, dengan semua kejujuran dan keadilan yang kau ciptakan dan bisa memakmurkan semua Anak Buah Kapalmu yang akan kau percayai, jangan sampai kau merenggut kepercayaan mereka dan membuatnya kecewa.

Terima Kasih.

 




Komentar

Postingan populer dari blog ini